Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) di Provinsi Bengkulu belum mempertimbangkan analisis kesesuaian perairan laut, kondisi eksisting, dan kesepakatan bersama stakeholders, sehingga proses RZWP3K yang terkesan sporadik tersebut mengabaikan daya tampung dan daya dukung lingkungan Hidup.
Berdasarkan analisis sementara yang dilakukan Eksekutif Daerah WALHI Bengkulu yang tertuang dalam draft dokumen antara tentang Rencana Alokasi Ruang dan Peraturan Pemanfaatan Ruang pesisir dan pulau-pulau kecil belum mempertimbangkan aspek keserasian, keselarasan dan keseimbangan dengan daya dukung, ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan.
Diketahui bahwa terdapat Rencana Alokasi Ruang Zona Pertambangan di Kawasan Pesisir Bengkulu seluas 17.810,58 Ha di Kabupaten Seluma dan Kabupaten Bengkulu Tengah, WALHI Bengkulu menilai bahwa hal tersebut berpotensi menghancurkan kawasan pesisir dan Wilayah Kelola/tangkap Nelayan tradisional, karena Zona Pertambangan masuk wilayah yang menjadi daerah tangkap nelayan tradisional, nelayan Kabupaten Seluma dan Bengkulu Tengah. Selain itu Bengkulu merupakan pantai yang berbatasan langsung dengan samudera sehingga sangat rawan terkena badai, gelombang tinggi dan Bencana Tsunami, pemberian izin tambang di wilayah masyarakat, kampung nelayan akan meningkatkan potensi bencana. Dan yang sangat mengkhawatirkan Alokasi Zona Pertambangan di Kabupaten Seluma Tumpang tindih dengan Kawasan Cagar Alam Pasar Ngalam.
Selain itu didalam Peraturan Pemanfaatan Ruang ruang terdapat Pembangunan PLTU di Wilayah Pesisir Kota Bengkulu bertentangan dengan Rencana Alokasi Ruang atau tidak sesuai dengan Peruntukan dan Pemanfaatannya. selanjutnya berdasarkan hasil Identifikasi dampak social yang dilakukan WALHI Bengkulu ditemukan Fakta-fakta mengkhawatirkan, pada saat pembangunan transmisi dengan cara paku bumi aktivitas tersebut mengganggu tangkapan ikan nelayan tradisional teluk sepang, sehingga jumlah tangkapan nelayan menurun drastis, berdasarkan Fakta-fakta yang ditemukan WALHI diketahui bahwa nelayan tradisional disekitar teluk sepang tidak bisa lagi mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini sangat kontras dengan semangat RZWP3K yang salah satunya meningkatkan kesejahteraan umum selain itu lokasi pembangunan PLTU berada di kawasan resapan air dan sepadan pantai juga berbatasan langsung dengan Kawasan Taman Wisata Alam Pantai Panjang yang akan berdampak langsung pada kehancuran ekologis wilayah pesisir, Berdasarkan dokumen kerangka acuan ANDAL air limbah buangan hasil pembakaran batubara bersuhu 35-40 ° C dan langsung dibuang kelaut akan berdampak terhadapnya rusaknya ekosistem laut seperti terumbu karang, biota laut, tegakkan pesisir/mangrove. direncana alokasi ruang juga tidak disebutkan PLTU sebagai Kawasan KSNT namun di peraturan pemanfaatan ruang PLTU dikategorikan sebagai Kawasan KSNT, sengkarut RZWP3K tersebut menunjukkkan ketidakkonsistenan dan ketidakberpihakan Pemerintah kepada Masyarakat lokal, Nelayan tradisional dan keberlangsungan lingkungan hidup Wilayah Pesisir.
Dalam draft dokumen Antara RZWP3K Provinsi Bengkulu, terdapat banyak pembangunan fisik yang tidak berpihak kepada masyarakat lokal, nelayan tradisional dan keberlangsungan ekosistem pesisir dan hanya menguntungkan para pihak pemodal dan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan hidup. Seperti Usaha usaha dan pembangunan fisik dikawasan Zona Pariwisata yang diizinkan dengan dan atau tanpa adanya ijin penggunaan bersyarat, pembatasan pengoperasian, atau peraturan tambahan lainnya yang berlaku seperti : AMDAL, RKL dan RPL, hal tersebut dapat mengancam Wilayah Kelola Nelayan Tradisional dan keberlangsungan ekosistem wilayah pesisir.
Selanjutnya kawasan-kawasan yang selama ini dikuasai oleh nelayan tradisional dan Masyarakat Hukum Adat di usulkan menjadi kawasan konservasi Perairan (KKP) dan dan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K). terkait rencana tersebut WALHI Bengkulu menilai Alokasi Ruang yang dilakukan Pemerintah harus lebih berhati-hati dan jangan sampai Kawasan Yang selama ini dikuasai oleh Nelayan tradisional dan Masyarkat lokal pesisir dan Wilayah Adat Masyarakat yang dikelola berdasarkan kearifan lokal setempat sejak lama dimasukkan kedalam zona inti yang akan mengakibatkan konflik, kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat.
Eksekutif Daerah WALHI Bengkulu mendesak pihak terkait untuk meninjau ulang usualan Draft RZWP3K di Provinsi Bengkulu dengan melibatkan seluruh stakeholders khususnya masyarakat di sekitar wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil karena dalam Nomor 27 Tahun 2007 Jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dijelaskan secara eksplisit keterlibatan Masyarakat, Masyarakat tradisional, masyarakat lokal, dan masyarakat Hukum Adat dan menjunjung tinggi nilai nilai kearifan lokal dan mempertimbangkan Daya Dukung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahkluk hidup lainnya, serta mempertimbangkan dampak ekologi, social, budaya dan ekonomi.
Adapun Fakta-Fakta yang ditemukan pada saat Konsultas Publik Ke-II yang dilakukan Oleh Dinas Kelautan dan Kemaritiman pada tanggal 27 Desember 2017 adalah sebagai berikut :
WALHI Bengkulu menilai Rancangan RZWP3K Provinsi Bengkulu yang dibuat dengan tidak partisipatif karena hampir tidak melibatkan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat lokal dan pesisir, dan Nelayan tradisional. Selanjutnya Rancangan RZWP3K cenderung mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan berdampak pada semakin tingginya tingkat kerusakan lingkungan, sehingga pada akhirnya masyarakat sekitar yang merasakan kerugian akibat dampak kerusakan lingkungan yang ada, dan Resiko bencana.
NamunKami cukup mengapresiasi DKP dan Pemerintah Daerah Provinsi terkait penyela matan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan memastikan di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dengan tidak mengakomodir zona pertambangan kedepan, tapi itu harus dipastikan sampai RZWP3K disahkan, untuk yang sudah terlanjur memiliki izin kami minta kepada Dinas ESDM untuk ditinjau ulang bila perlu dicabut karena mengancam lingkungan hidup, diantaranya aspek biofisik, sosial, ekonomi, budaya masyarakat, sumber daya laut, kawasan konservasi, dan nelayan tradisional yang akan berakibat pada Menurunnya tingkat pendapatan nelayan
tetapi pada konsultasi public yang dilakukan hari ini (Rabu, 27 Desember 2017) Kami menemukan ancaman serius bagi keberlangsungan ekologis, masyarakat lokal/pesisir, masyarakat hukum adat, dan nelayan tradisional, seperti :
- Tidak terintegrasi dengan KLHS dan RTRW Provinsi, Karena Proses Pembahasan RTRW dan KLHS sedang berlangsung, seharusnya RZWP3K harus selaras dan terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis yang di atur dalam UUPPLH;
- Rancangan RZWP3K Tidak mengakomodir Wilayah Masyarakat Hukum Adat, hal ini sangat kontraproduktif dengan Misi KKP dan amanat UUD 1945, UU Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, UU Perikanan dan UU Kelautan yang menjamin Wilayah Masyarakat Hukum adat dan kearifan lokalnya;
- WALHI Bengkulu mendesak DKP dan Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu untuk menghentikan Pembangunan PLTU di Wilayah Pesisir Kota jika melihat acuannya masih Perda RTRW P yang masih berlaku sekarang, jika nanti RTRW direvisi dan dimungkinkan dibangun PLTU harus melihat KLHS, apakah sesuai atau tidak dengan kondisi wilayah Bengkulu, selain itu dari kondisi kelistrikan provinsi apakah Bengkulu butuh PLTU?, karena dampaknya akan menghancurkan ekologi sekitar, meningkatkan emisi karbon global, PLTU itu berada di kawasan resapan air dan sepadan pantai juga berbatasan langsung dengan Kawasan Taman Wisata Alam Pantai Panjang, perlu juga dipertimbangan dampak sosialnya, Tangkapan ikan Nelayan dan Kesehatan masyarakat sekitarnya, selain itu kami melihat revisi RTRW yang sedang berlangsung tampaknya hanya untuk kepentingan investor dan korporasi, pembangunan yang sangat jauh dari kata keberlanjutan, dan industry-industri kotor lainnya.
- Disektor pariwisata dalam document draft antara ada kemudahan izin usaha bagi korporasi di kawasan pariwisata yang tidak menggunakan instrumen AMDAL, RKL, dan RPL, kami meminta DKP Pemerintah untuk lebih ketat dengan menerapkan instrument-instrument lingkungan hidup bagi investor yang akan masuk disektor pariwisata, karena akan berdampak buruk bagi ekosistem, nelayan, masyarakat pesisir dan lokal dan bagian yang menyertainya pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
- Rancangan RZWP3K tidak partisipatif karena hampir tidak ada masyarakat lokal dan pesisir, masyarakat hukum adat dan Nelayan tradisional yang terlibat didalamnya, hal ini tentu bertentangan dengan amanat UU NO. 27/2009 Junto UU NO.1/2014 tentang perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pada konsultasi Publik yang diselenggarakan DKP hari ini terkesan Formalitas belaka, kami meminta ini untuk ditinjau ulang dan Memastikan keterlibatan Masyarakat Pesisir, Lokal, dan Masyarakat Hukum Adat dan Nelayan Tradisional dalam RZWP3K, karena peserta seolah olah harus setuju dengan Rencana yang dibuat, ini konsultasi macam apa ?, padahal yang sedang dibicarakan ini nasib nelayan tradisional, masyarakat pesisirdan lokal dan penyelamatan lingkungan hidup 20 tahun kedepan.
- DKP dan Pemerintah belum memastikan Kawasan Ekosistem essensial mangrove masuk dalam rencana Zonasi.
- DKP dan Pemerintah belum memastikan Wilayah Kelola Nelayan tidak terganggu akibat Jalur Pelayaran Internasional, Nasional dan Regional.
- Selanjutnya di dalam RZWP3K dalam aspek aspek teknisnya juga harus memperhatikan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
- Selanjutnya DKP dalam Rancangan RZWP3K memperbolehkan Penggunaan Trawl dan yang sangat mengerikan penggunaan tersebut diperbolehkan di Zona Pariwisata baik wisata alam pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil, wisata alam bawah laut, wisata alam bentang laut dan zona perikanan berkelanjutan kami mendesak DKP dan Pemerintah dalam RZWP3K mengahapus penggunaan trawl tersebut sesuai dengan perintah UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Permen No. 2 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) Dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Kan penggunaan trawl ini seharusnya sudah habis secara bertahap sejak dikeluarkannya Keppres No.39 Tahun 1980 Tentang Penghapusan Jaring Trawl, tetapi masih DKP akomodir di Rancangan RZWP3K.
Teo Reffelsen, Manager of public policy analysis and environmental law WALHI’s Bengkulu.
sumber : https://teoreffelsen.wordpress.com/2017/12/28/rzwp3k-provinsi-bengkulu-tidak-melindungi-zona-genting-mengabaikan-ruang-kelola-nelayan-tradisional-masyarakat-lokal-pesisir-dan-masyarakat-hukum-adat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar