Gambar : Ilustrasi Kebakaran Hutan sumber. tempo.com |
Bengkulu ,12 Septe
November 2015. Kebakaran hutan dan pencemaran asap ekstrim dalam satu dekade lebih terus melanda
Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, bahkan mulai melanda
Papua dan pulau yang lain. Peningkatan kebakaran bukan hanya meluas dalam hal wilayah dan titik apu , tetapi juga frekuensi kejadian,
sejak tahun 2014 kebakaran dan asap mulai terjadi
2 kali dalam 1 tahun. Peningkatan ini berbanding lurus dengan peningkatan penerbitan izin konsesi sawit dan HTI.
Dari pantauan walhi di wilayah yang setiap tahunnya dilanda kebakaran hutan dan lahan sebagian besar titik api berada di wilayah konsesi korporasi baik perkebunan maupun HTI. Jika pada 2014 titik api yang ditemukan di kawasan hutan yang dibebani hak hutan tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 4.084 titik api di 150 konsesi dan 603 titik api di 85 konsesi perusahaan (IUPHHK-HA), data yang diolah Walhi dari berbagai sumber menunjukkan, pada 2015 ada 383 titikapi di hutan tanamani ndustri dan 426 titik di konsesi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan. Di Kalimantan Barat ada 314 sebaran dan titik api berada di wilayah konsesi.
Pencamaran asap
yang telah malampaui ambang batas kesehatan manusia ini,
diakibatkan oleh praktik buruk korporasi,
perusahaan membakar lahan ketika land clearing. Kejahatan korporasi ini bukan hanya melanggar hukum,
tapi juga melanggar hak asasi manusia (HAM) secara serius, khususnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana termaktub dalam Konstitusi pasal
28H, UU No. 32/2009, dan UU No. 39/1999, khususnya hak ekonomi,
sosial, dan budaya. Korporasi telah melakukan pelanggaran HAM berat, karena memenuhi unsur terencana dan meluas
serta berdampak luar biasa bagi masyarakat.
Pemerintah selaku pihak yang berkewajiban dalam mengontrol dan mengendalikan operasi dan dampak aktivitas korporasi, cendrung menghindari tanggungjawab yang seharusnya, justru memaksa rakyat untuk beradabtasi dengan pencemaran
yang ekstrimdengan bahasa bencana.
Sony taurus manager advokasi walhi bengkulu menilai, penegakan hukum pada korporasi lemah.
Terbukti dengan masyarakat kecil yang dijadikan kambinghitam. Karena itu kejahatan lingkungan
yang dilakukan korporasi seharusnya dilakukan upaya penegakan hukum. Selain itu penting moratorium di wilayah ekologi genting unik dan penting, memulihkan daya dukung lingkungan dengan mencabut perizinan perkebunan skala besar dan
HTI.
Sebaiknya pemerintah melakukan perluasan ruang kelolah rakyat dengan memberikan lahan konsesi perusahaan
yang telah dicabut kepada masyarakat yang terbukti mampu mengelolah dan melindungi kawasan hutan dan gambut secara adil dan lestari.
WALHI Bengkulu menggelar aksi simpatik untuk mengingatkan pemerintah, bahwa praktek dan dampak lingkungan kejahatan korporasi tidak terikat batas adminstrasi apalagi konsesi. Masyarakat di Bengkulu bisa menjadi korban dari kejahatan korporasi di Riau atau Jambi. Kami meminta Pemerintah melindungi hak rakyata atas lingkungan
yang baik dan sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar